Areál plný pohody | koupaliště, sauna, spining, fitness, salónek, restaurace
Kultur Humanis Wina, Kota Layak Huni Di Austria

Kultur Humanis Wina, Kota Layak Huni Di Austria

Kultur Humanis Wina, Kota Layak Huni Di Austria – Kota Wina, ibu kota dari Austria, selama delapan tahun terakhir mendapat predikat sebagai kota paling layak huni di dunia. Daftar kota tersebut dirilis oleh perusahaan konsultan Mercer, berdasarkan sejumlah kriteria diantaranya transportasi, kesehatan, stabilitas politik, pendidikan, kriminalitas dan pariwisata. Dari berbagai kriteria tersebut, Wina dinilai sebagai kota dengan kualitas hidup tertinggi. Selain menyediakan fasilitas publik yang mumpuni untuk 1,8 juta penduduknya, kota Wina juga memiliki banyak kafe, museum, dan objek-objek rekreasi.

Di negara Austria, katanya, dan khususnya di Wina, ‘seni sebagai agama’.

Bagaimana pun, kota ini indah, gambaran dari efisiensi yang sempurna. Wina mematahkan mitos yaitu Anda harus memilih, efisiensi atau bersantai. Anda dapat memiliki keduanya. poker99

Kultur Humanis Wina, Kota Layak Huni

Penduduk Wina punya suatu tujuan. Psikolog menjelaskan bahwa kemalasan itu – jenis kemalasan tertentu, pastinya – meningkatkan kreatifitas. https://www.americannamedaycalendar.com/

Hal ini terjadi selama ‘masa inkubasi’ dari proses kreatif. Ini adalah ketika kita berhenti membalikkan masalah di pikiran sadar kita dan, sebaliknya, membiarkan pikiran bawah sadar kita mengambil peran.

Ketika jalan keluar yang sempurna dari sebuah masalah muncul ketika Anda mandi, itu adalah hasil dari akhir masa inkubasi. Beberapa penelitian telah menemukan hubungan antara sejenis perilaku yang tampak malas-malasan ini dan terobosan-terobosan kreatif. Wina dengan konsisten berada dalam daftar kota yang paling nyaman ditinggali di dunia, mengungguli kota-kota seperti Kopenhagen, Zurich dan New York.

Dalam surveinya, Mercer, sebuah perusahaan konsultan, memasukkan kesehatan, kebahagiaan dan kualitas hidup dalam daftarnya. Dan karena Wina sudah tak lagi menyetak seorang Mozart atau seorang Klimt – faktor lain yang dapat membawa sejenis inovasi seni, termasuk budaya imigran yang membawa angin segar di awal tahun 1900-an, tidak ada lagi di sini – kota ini merupakan rumah bagi seni musik dan seni peran yang sangat kuat.

Yang paling utama dari kemalasan produktif orang-orang Wina adalah kedai kopi.

Seperti gedung konser di kota, kedai kopi adalah katedral sekuler, sebuah inkubator ide, sebuah persimpangan intelektual – ringkasnya, sebuah tempat yang dapat dengan mudah ditemui di kota itu, seperti apple strudel.

Wina bukanlah pelopor kedai kopi. Kedai kopi yang pertama di dunia muncul di Konstantinopel (sekarang Istanbul) pada tahun 1554; kedai kopi pertama di Eropa Barat muncul kira-kira seabad kemudian ketika seorang pengusaha muda yang bernama Jacob membuka sebuah toko dan menyajikan “minuman hitam yang pahit” di Oxford, Inggris.

Tetapi Wina menyempurnakan kedai kopi, dan membuatnya terkenal. Kedai kopi ala Wina yaitu contoh klasik dari sebuah “tempat ketiga”. Tempat-tempat ketiga adalah suatu tempat bertemu yang santai dan netral.

Bayangkan kantin New York, toko buku Paris, atau pub Inggris. Tempat-tempat ketiga adalah tempat-tempat pelarian, “dunia sementara dalam dunia sehari-hari”, sebagaimana dinyatakan oleh seorang pakar.

Kedai kopi favorit saya di Wina merupakan Café Sperl. Tempat ini sarat sejarah. Di Sperl lah pelukis Gustav Klimt mendeklarasikan Pemisahan Wina (Viennese Secession) pada tahun 1897, sekaligus meluncurkan gerakan seni modern Wina.

Sekarang, syukurlah, Sperl tetap tidak tersentuh tuntutan perubahan. Tidak ada sistem pencahayaan. Tidak ada wi-fi. Tidak ada barista yang berbasa-basi. Hanya bilik kayu sederhana dan pelayan yang cemberut. Sebuah meja biliar terletak di satu sudut, dengan surat kabar, digantung di tiang kayu di atasnya.

Menghabiskan waktu berjam-jam di Sperl, larut dalam kebiasaan masa lalu warga Wina, duduk dan tidak memikirkan apa-apa, dan semuanya. Di dalam sebuah kedai kopi Wina, sesuatu yang aneh terjadi pada waktu. Waktu tidak berubah, tentu saja. Ada banyak waktu untuk pergi jalan-jalan, begitu banyak sehingga waktu menjadi tidak penting, sehingga menjadi biasa bagi hari-harimu seperti bulan-bulannya Jupiter.

Perihal aneh lainnya tentang kedai kopi Wina adalah bahwa rasa kopinya tidak karuan.

Seperti apa kah rasanya tinggal di kota paling layak huni di dunia? Dengan pengalaman tinggal dan bekerja di kota Wina selama lebih dari tiga tahun, di sini saya ingin berbagi bahwa selain karena fasilitas publiknya yang mumpuni, ada aspek-aspek humanis dari kota Wina serta penduduknya, yang membuat kota tersebut menjadi nyaman untuk dihuni.

1.     Tradisi menyapa

Penduduk kota Wina punya kebiasaan yang unik, yaitu selalu menyapa saat bertemu orang lain, dengan mengucapkan “Grüss Gott”. Salam ini mengandung makna religius, yaitu “Tuhan memberkati”. Masyarakat di negara Austria umumnya tergolong liberal dan tidak religius, tetapi punya kultur yang lebih konservatif dibandingkan negara-negara Eropa Barat lainnya.

Kultur Humanis Wina, Kota Layak Huni

Kebiasaan menyapa ini mungkin terdengar simpel, namun merupakan suatu pengakuan atas keberadaan orang lain, termasuk yang belum dikenal, sehingga membuat kita merasa sebagai bagian dari masyarakat setempat.

2.     Tanggung jawab terhadap lingkungan.

Budaya menjaga lingkungan dengan menggunakan plastik daur ulang, sumber energi terbarukan, dan membuang sampah pada tempatnya, sudah ditanamkan sejak dini. Sedari kecil, warga Wina diajarkan untuk memiliki tanggung jawab yang tinggi melestarikan lingkungan. Budaya tersebut diterapkan secara konsisten dan terus menerus, sehingga Wina menjadi kota yang sangat bersih, ramah lingkungan dan bahkan lebih nyaman dari kota-kota lainnya di Eropa.

3.     Budaya saling menghargai satu sama lain.

Penduduk kota Wina memiliki budaya antri yang sangat baik, tertib, dan siap membantu orang-orang di sekitarnya. Di samping itu, prioritas yang diberikan untuk wanita hamil, anak-anak dan lansia, sangat dirasakan di seluruh aspek kehidupan sehari-hari. Orangtua yang perlu membawa anaknya sendirian ke luar menggunakan transportasi umum, misalnya, tidak perlu merasa khawatir, karena banyak yang akan mengulurkan tangan dan siap membantu mengangkat kereta bayi naik/turun kendaraan. Selain daripada itu, rasa aman untuk menggunakan transportasi publik jam berapapun sungguh tak tergantikan.

Akses untuk kaum difabel tentunya juga mendapat prioritas dalam kehidupan sehari-hari. Tidak hanya sekedar prioritas, mereka juga dimungkinkan untuk hidup mobile dan mandiri. Sarana dan prasarana publik dirancang untuk dapat dijangkau dan dimanfaatkan oleh kaum difabel.

4.     Iklim saling percaya

Di negara Austria, ada hal saling percaya yang sangat terasa. Sebagai contoh, ada laman jual beli online yang biasa digunakan sebagai forum jual beli barang bekas, dari kebutuhan sehari-hari hingga otomotif dan properti. Penduduk Wina sering memanfaatkan laman tersebut meskipun forum barang bekas tidak memberi jaminan uang kembali. Yang cukup mengherankan adalah, dalam transaksi jual beli, pembeli biasanya memberi kepercayaan penuh kepada penjual, hingga tidak merasa perlu untuk mengecek kondisi barang yang dijual, bahkan sewaktu mengambil barang tersebut. Sebaliknya, penjual juga memberikan informasi yang sesuai dengan kondisi barang.

Infrastruktur dan fasilitas publik memang penting. Demikian juga dengan jalannya penegakan hukum tanpa diskriminasi. Namun, yang tidak kalah penting untuk menjadikan suatu kota nyaman dihuni, adalah bagaimana setiap warga mampu berbagi ruang publik dan dapat saling menghargai satu sama lain sebagai sesama penghuni kota.

Kota Jakarta juga bisa menjadi kota yang lebih bersahabat untuk dihuni. Dengan infrastruktur transportasi dan fasilitas lainnya yang semakin membaik, adalah harapan kita bersama sebagai anggota masyarakat untuk semakin majunya budaya tertib, bertanggung jawab dan saling menghargai, supaya timbul iklim saling percaya dan harmoni dalam hidup berdampingan.